CONTOH NASKAH AKADEMIK NARKOTIKA
NASKAH AKADEMIK NARKOTIKA DAN RUU NARKOTIKA
Revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Disusun oleh :
Yance Leo
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masyarakat
dunia dan tidak terkecuali masyarakat di Indonesia pada dewasa ini sedang
dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya
penyalahgunaan bermacam-macam jenis Narkotika dan Psikotropika. Di Indonesia
masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah menunjukkan
kecenderungan terus meningkat, sudah sangat memprihatinkan dan membahayakan
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, sebab penyebarannya bukan hanya
sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap narkoba, tetapi
telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat untuk
memproduksi narkoba secara gelap. Kekhawatiran ini semakin dipertajam akibat meluasnya
pemakaian dan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika yang telah merebak di segala
lapisan masyarakat. Dan sebagian penegak hukumnya juga tidak steril dari penyalahgunaan narkoba, sehingga upaya
pemberantasannya tidak cukup hanya ditangani oleh pemerintah dan aparat penegak
hukum saja, melainkan perlu melibatkan seluruh potensi masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba. Jika hal ini tidak dilaksanakan dengan segera,
maka akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena
generasi muda adalah penerus cita-cita bangsa dan negara pada masa mendatang.
Upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba di Indonesia memerlukan upaya penanganan yang komprehensip dan
multidimensional agar tercapai hasil yang maksimal, dan upaya
pemberantasannyapun harus dilaksanakan secara bertahap, konsisten, dan
terus-menerus berkesinambungan.[1][1]
Narkotika sebagai salah satu kejahatan yang grafiknya
terus meningkat dari waktu kewaktu. Hampir semua elemen yang terdapat
di dalam masyarakat tanpa membedakan status sosial dapat
dimasuki oleh narkotika dan psikotropika, seperti anak-anak, pelajar,
mahasiswa, selebritis, lembaga profesional dan tidak sedikit para oknum
pejabat.
Narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan atau
tindak pidana yang disepakati (concensual crimes) semua pihak terlibat
dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika. Para pihak menjadi pelaku dan
sekaligus korban. Sebagai tindak pidana yang disepakati, antara pelaku dan
korban telah bersama-sama sepakat dalam tindak pidana ini sehingga untuk
menentukan sebagai korban akan semakin rancu dan tidak jelas.
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang
semula dijadikan tempat transit narkotika dan psikotropika telah berkembang
menjadi tempat untuk memproduksi narkotika. Jumlah penduduk yang terus
meningkat dari tahun ke tahun menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial
narkotika.
Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan
sasaran potensial generasi muda telah menjangkau berbagai penjuru daerah dan
penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya
narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu
pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan.[2][2] Penyalahgunaan
pemakaian narkotika dapat berakibat jauh dan fatal serta menyebabkan yang
bersangkutan menjadi tergantung pada narkotika untuk kemudian berusaha agar
senantiasa memperoleh narkotika itu dengan segala cara, tanpa mengindahkan norma-norma
sosial, agama maupun hukum yang berlaku. Dalam hal ini, tidak mustahil kalau
penyalahgunaan narkotika adalah merupakan salah satu sarana dalam rangka
kegiatan subversi.[3][3]
Kemudian seiring perkembangan zaman, dibuatlah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, yang menggantikan undang-undang sebelumnya, dengan alasan bahwa tindak pidana narkotika telah
bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan
sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang dalam menanggulangi dan
memberantas tindak pidana tersebut.[4][4]
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat temuan baru
jenis Narkotika, Metilon sebagai derivat katinon yang secara eksplisit belum
tercantum dalam lampiran Undang-Undang
nomor 35 tahun 2009, karena ketika UU disusun zat sintetis ini belum ada. Tapi
secara akal sehat tentunya dapat disamakan dengan katinon.
Metilon, sebagai turunan dari katinon sintetis, sangat
mirip dengan ekstasi (MDMA). Sedikit perbedaan hanya pada gugusan belakang
konfigurasi struktur kimianya. Bila ekstasi (Metil Dioksi Metamfetamin)
gugusan belakangnya adalah amfetamin, maka metilon (Metilen Dioksi Metil
Katinon) gugusan belakangnya adalah katinon. Efek kedua zat ini sama bahkan
dikatakan metilon lebih dahsyat.[5][5] Penemuan tersebut diiringi dengan
adanya pengguna terhadap zat tersebut, sehingga ketika hukum akan menjerat
pengguna, belum ada undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, perlu
dilakukan revisi terhadap undang-undang yang telah ada, dengan memasukkan zat
metilon menjadi salah satu jenis narkotika, dengan konsekuensi hukum bagi yang
menyalahgunaan zat tersebut. Dengan penambahan pernyataan bahwa setiap zat yang bersifat adiksi, baik itu narkotika, psikotripika, stimultan,
maupun kelompok lainnya adalah dilarang.
2. Sistematika Naskah Akademik
Dalam rangka
memudahkan pemahaman, sistematika naskah akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Narkotika disusun sebagai berikut:
Bab 1 memuat pendahuluan yang berisi latar belakang perlunya
dibuat Rancangan Undang-Undang tentang Narkotika dan sistematika naskah
akademik.
Bab II memuat arah
dan tujuan pembentukan Rancangan Undang-Undang
tentang Narkotika. Di dalamnya diuraikan mengenai perlunya
merevisi kembali Undang-Undang narkotika, agar lebih efektif dan mencakup
segala jenis narkotika, menepis kerancuan dalam penetapan hukum tentang
penyalahgunaan narkotika.
Bab III memuat
dasar filosofis, sosiologis dan yuridis. Dalam filosofis memuat kerangka filosofis baik yang
diangkat dari Undang-Undang Dasar 1945 maupun dari pemikiran idiologis yang melatar belakangi pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Narkotika. Sedangkan dasar sosiologis memuat tentang situasi
empirik setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang mempengaruhi perkembangan dan produktivitas masyarakat Indonesia khususnya
generasi muda Indonesia. Serta dasar yuridis, menguraikan tentang ketentuan
hukum yang yang menjadi dasar terbentuknya Rancangan Undang-Undang tentang
Narkotika.
Bab IV memuat
mengenai problematik Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sejauh mana undang-undang tersebut menjangkau problem masyarakat tentang penyalahgunaan narkotika.
Bab V memuat
mengenai lingkup penyempurnaan dalam Rancangan Undang-Undang dibandingkan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Lingkup
penyempurnaan ini dengan mempertimbangkan penting dan perlunya menambahkan bahwa penyalahgunaan
zat yang bersifat adiksi, baik itu narkotika, psikotropika, stimultan, maupun
kelompok lainnya adalah dilarang.
BAB II
ARAH DAN TUJUAN
PENYEMPURNAAN
Penyempurnaan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dilakukan secara bertahap dan
berkelanjutan agar dapat mengcover perkembangan
situasi dan kondisi yang berkembang dalam rangka menanggulangi dan memberantas tindak pidana penyalahgunaan narkotika
secara efektif dan efesien, dengan melakukan penambahan pernyataan bahwa
penyalahgunaan zat yang bersifat adiksi, baik itu
narkotika, psikotropika, stimultan, maupun kelompok lainnya adalah dilarang.
Selanjutnya, akan
diuraikan secara rinci tentang mekanisme penambahan jenis narkotika ke dalam
golongan narkotika dalam undang-undang tentang narkotika, agar dapat mengcover
perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang, sehingga dapat menanggulangi
dan memberantas tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Mengingat
kebutuhan yang mendesak akan payung hukum yang jelas untuk narkotika jenis baru
yang akan terus muncul, update
peraturan perundangan secara rutin harus
dilakukan. Jika memang pada
tinggkat undang-undang membutuhkan waktu yang lama, peraturan pada tingkat
kementerian sepertinya sudah sangat mencukupi.
Sebagai upaya
preventif, ke depan, pemerintah melalui kementerian kesehatan, BNN, BPOM secara
rutin selalu melakukan penilaian dan penelitian terhadap zat-zat psikoaktif
baru baik yang belum maupun diduga telah beredar sebagai produk ilegal, yang
hasilnya bisa direkomendasikan sebagai bahan dalam pembuatan peraturan
perundangan.
BAB III
DASAR
PENYEMPURNAAN
1. Dasar Filosofis
Penyempurnaan peraturan
tentang narkotika, dapat dilakukan dengan penyempurnaan secara mendasar yang
memerlukan perubahan atau amandemen kembali atas peraturan
narkotika atau dengan penyempurnaan yang bersifat bertahap melalui perbaikan
dan revisi terhadap segenap undang-undang yang mengatur tentang narkotika.
Idealnya, penyempurnaan tersebut dilakukan secara mendasar. Namun karena
bebagai pertimbangan, seperti ditemukannya jenis tanaman baru yang
mengindikasikan adanya kandungan narkotika di dalammya, yang belum terdeteksi
ketika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dibuat, maka penyempurnaan secara fleksibel dan revisi merupakan pemecahan yang tepat dan
realistis. Hal ini dilakukan dalam rangka menanggulangi
dan memberantas tindak pidana penyalahgunaan narkotika secara efektif dan efesien.
2. Dasar Sosiologis
Ditengah hingar bingarnya isu
globalisasi, kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kian
menkhawatirkan. Geliat mafia seakan tak mampu terbendung oleh gebrakan aparat
penegak hukum di berbagai belahan komitmen bersama memberantas memberantas
narkotika oleh seluruh dunia. Tak sedikit badan-badan dunia yang terlibat,
namun peredaran narkotika terus merajalela. Dari berbagai indikasi menunjukkan
bahwa kejahatan narkotika merupakan extra orginary crime. Adapun
pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar dan
multi-dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu
dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Untuk itu extraordinary
punishment kiranya begitu menjadi relevan mengiringi model kejahatan yang
berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi ke se-antero bumi
ini sebagai transnational crime.[6][6]
Selain
narkotika dimanfaatkan untuk penelitian, narkotika juga sangat bermanfaat dan
diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila
disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih
jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat
yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda,
bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai
budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.[7][7]
Munculnya berbagai
pernyataan yang bernada kontroversial tentang metilon yang merupakan derifat
katinon, zat narkotika
yang tidak diatur dalam undang-undang. Cathinone (baca: katinon) merupakan alkaloid yang
diekstrak dari tanaman khat (Chata edulis), tanaman herbal yang banyak
tumbuh di Afrika bagian utara. Katinon mempunyai struktur kimia mirip
obat-obatan yang sudah kita kenal, ephedrine dan amphetamine.
Perubahan struktur kimia
pada katinon menghasilkan berbagai macam turunan zat atau komponen kimia baru
yang biasa disebut katinon sintetis.[8][8]
Penggunaan
katinon sintesis atau katinon derifat
secara akut maupun kronis bisa berakibat buruk, bahkan membahayakan kesehatan.
Penggunaan secara akut dalam dosis efektif bisa mengakibatkan gejala palpitasi
jantung, kejang, muntah, sakit kepala, perubahan warna (discolorization)
pada kulit, hipertensi, hiper-refleksia, euforia, serta halusinasi. Bahkan
pada dosis yang sangat besar, bisa mengakibatkan
kematian.[9][9]
Dengan
demikian, derifat katinon mempunyai indikasi yang sama dengan katinon, bahkan
lebih membahayakan, maka perlu adanya penambahan pernyataan bahwa penyalahgunaan zat yang bersifat adiksi, baik itu narkotika, psikotropika,
stimultan, maupun kelompok lainnya adalah dilarang.
Hal ini, dilakukan dalam
rangka, menepis kerancuan dan berbagai kontroversi tentang metilon dan derifat-derifat lain yang belum diketahui apakah termasuk
narkotika atau tidak. Sehingga, ketika
telah diundang-undangkan, maka pemecahan masalah tentang penyalahgunaan
narkotika jenis metilon ini, akan semakin jelas karena mempunyai sandaran hukum
yang eksplisit.
3. Dasar Yuridis
Untuk mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah
merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden
Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-UndangNomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika.
Undang-UndangNomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana
Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup,
dan pidana mati. Di samping itu, Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 juga mengatur
mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta
mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak
pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas,
terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Bahwa dalam sejarah Undang-Undang
yang mengatur tentang narkotika ini, sudah banyak mengalami
perubahan, hal ini terjaminnya keadilan bagi
setiap masyarakat dan kesejahteraan. Perubahan yang telah terjadi beberapa kali
ini ialah dalam rangka mengikuti perkembangan zaman, seperti yang di jelaskan
dalam pemaparan di latar belakang sebelumnya mengenai pendapat Van Savigny yang
mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya
masyarakat. Undang-Undang Narkotika yang disahkan pada 14 September 2009
merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun1997 tidak dapat mencegah tindak pidana
narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta
bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-Undang
Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan
dengan Undang-Undang terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban
rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat
besar.[10][10]
Menurut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa asas-asas,
materi muatan peraturan perundang-undangan yakni asas pengayoman, kemanusiaan,
kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum
dan keseimbangan, keserasian dan keselarasan.[11][11] Dengan demikian, dalam rangka
untuk mendapatkan kepastian hukum dalam suatu
tindakan kriminalitas penyalahgunaan narkotika, yang belum tercover dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, perlu adanya penambahan dan koreksi terhadap
undang-undang tersebut.
Dalam lampiran Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa katinona masuk dalam golongan satu narkotika. Sedangkan
turunan dari katinona adalah metilon. Sehingga, hal
inilah yang menjadi pertimbangan dalam penambahan metilon norkotika golongan pertama, sebagai keturunan
dari katinon. Dengan penyebutan hanya beberapa dari derifat
narkotika, menjadikan derifat yang tidak disebut dalam undang-undang tidak
mempunyai payung hukum yang jelas. Sehingga, perlu adanya pernyataan fleksibel
bahwa penyalahgunaan zat yang bersifat adiksi, baik itu
narkotika, psikotripika, stimultan, maupun kelompok lainnya adalah dilarang.
Dengan demikian, ketika ke depan ditemukan derifat lain, maka akan tetap
mempunyai payung hukum yang jelas.
BAB IV
PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
1. Cakupan
Penggolongan Narkotika
Dalam jumpa pers, Badan Narkotika Nasional (BNN)
mengatakan bahwa narkoba yang gunakan tersebut belum diatur dalam
undang-undang. Namun, pernyataan tersebut kemudian dibantah oleh Menteri
Kesehatan yang menyatakan bahwa bahan tersebut telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kontroversi tersebut terus berkembang
baik di media maupun di jejaring sosial. Ditambah lagi, akhir-akhir ini di
daerah Cisarua dan Banyumas juga ditemukan budidaya tanaman khat. Hal ini,
menyebabkan sebuah undang-undang yang dijadikan acuan hukum menjadi sebuah
kontroversi dan multitafsir.
Dalam lampiran UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, tidak disebutkan secara eksplisit tentang turunan narkotika jenis
katinon, bahkan tentang tanaman khat-pun tidak tertulis. UU itu hanya tertulis
katinon dan metkatinon yang masuk dalam narkotika golongan 1. Sementara yang
baru ditemukan pada kasus "terbaru" ini adalah turunan katinon yang
bernama metilon. Metilon jelas merupakan zat sintesis atau turunan yang
diproduksi dari katinon. Metilon memiliki struktur kimia inti katinon dengan
modifikasi pada salah satu rantai kimianya. Efek farmakologi dari metilon lebih
dahsyat dibanding katinon, berbagai literatur menunjukkan metilon mempunyai
efek dan toksisitas yang lebih besar dari katinon. Jadi meski merupakan produk
sintesis atau turunan dari katinon, metilon
merupakan zat yang berbeda dengan efek yang berbeda. Sehingga, tidak layak
metilon dan tanaman khat dianggap sudah masuk dalam Undang-Undang Narkotika
Nomor 35 Tahun 2009.
Dalam Lampiran UU Nomor 35 Tahun 2009, lampiran
narkotika golongan I hanya memuat 65 macam bahan narkotika, dimana katinon dan
metkatinon merupakan dua bahan yang berhubungan dengan katinon, sedangkan
turunan katinon dan tanaman khat tidak tertulis di dalamnya. Dalam lampiran
golongan I ini juga tidak dituliskan kalimat "Garam-garam dari Narkotika
dalam golongan I tersebut diatas" seperti yang tertulis pada golongan II
dan golongan III. Dari sini bisa dilihat bahwa dengan tidak dituliskannya
kalimat tersebut menunjukkan bahwa si pembuat undang-undang dalam hal ini
Presiden dan DPR ingin menjelaskan dengan poin-poin yang jelas, bahan-bahan apa
saja yang masuk ke dalam golongan tersebut.
Dalam jenis narkotika yang lain, seperti jenis opioid,
mulai dari tanamannya, bentuk mentahnya, bentuk ekstraksinya, bentuk aktif
hingga turunannya semua tertulis dengan jelas. Begitu juga narkotika jenis
kokain, mulai dari tanaman, bentuk ekstrak dan produk turunanya juga tertulis
dengan lengkap, begitu juga dengan narkotika jenis ganja. Sedangkan, dalam
khusus katinon ini hanya ditulis katinon dan metkatinon, tidak dari tanamannya
khat, zatnya katinon dan turunan-turunannya. Hal ini sangat dimungkinkan karena
para pembuat undang-undang tersebut memang belum berfikir untuk memasukkan
tanaman khat dan turunan katinon ini ke dalamnya, kemungkinan besar karena
barangnya belum ada atau belum masuk ke Indonesia.
Terkait tentang UU Narkotika, peraturan perundangan
tentang narkotika di Indonesia diawali dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976
tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Revisi Protokol
tersebut yang dilakukan pada tahun 1972 oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB).
Saat ini, Indonesia hanya memiliki dua buah undang-undang yang menuliskan
secara eksplisit daftar obat dan penggolongan narkotika dan psikotropika yaitu
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 (yang menggantikan Undang-undang Narkotika
Nomor 22 Tahun 1997) dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.[12][12]
Dalam undang-undang ini, tertulis 165 zat narkotika
(terbagi dalam tiga golongan) dan 25 prekusor (terbagi dalam dua tabel).
Ditambah dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang
mencantumkan 109 zat psikotropik (dimana sebagian besar pada golongan 1 dan 2
telah dipindahkan ke Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009). Di tingkat Peraturan
Menteri, ada beberapa Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang ditujukan
untuk menambahkan daftar narkotika yang tertulis pada undang-undang, namun
semua narkotika dalam Peraturan Menteri tersebut telah dimasukkan dalam
lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.[13][13]
2. Pembatasan Penyimpanan Narkotika
Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika
untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat,
balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan.
Hal ini sangat menyulitkan
pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini
memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narkotika secara ilegal.
Hal ini membuka black market Narkoba semakin besar dan pada gilirannya semakin
menjadikan Indonesia dilirik sebagai potensial marketing bagi produsen dan
distributor lama dan baru.
3. Pengobatan dan
Rehabiltasi
Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa
narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan
dilengkapi dengan bukti yang sah. Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009,
para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan
dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial menjadi kewajiban bagi para pecandu.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mewajibkan pecandu narkotika untuk
melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga
menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga.
Rehabilitasi medis dan sosial selain dapat
diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur
dalam peraturan menteri. Permasalahannya,
kategori tempat pihak yang melakukan rehabilitasi medis dan social belum
sepenuhnya termasuk pada lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap
pecandu.
4. Kewenangan BNN
dan Penyelidikan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan porsi
besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah
mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor
narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau,
mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan
terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat.
Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN
diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta
dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan
selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan.
Pemberian kewenangan yang besar terhadap BNN,
khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik
menimbulkan penilaian bahwa pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan
pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik, kemudian kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN. Porsi
kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan
yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisian akan menimbulkan permasalahan
secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di
BNN dan kepolisian.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya
semakin canggih dan dalam undang-undang No.35 tahun 2009 juga diatur mengenai
perluasan teknik penyidikan penyadapan ( wiretapping ), teknik pembelian
terselubung ( under cover buy ) dan teknik penyerahan yang diawasi ( controlled
delevery ) serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
5. Putusan
Rehabilitasi Bagi Para Pecandu Narkotika
Walaupun prinsip dalam undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam
undang-undang ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para
pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga
diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana
narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabilitasi. Ketentuan
tersebut menimbulkan pemahaman bahwa hakim mutlak memutus atau menetapkan
pecandu narkotika untuk menjalani proses rehabilitasi dan penerapan
penjalanan pengobatan dan rehabilitasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan
dan penuntutan.
6. Peran Serta
Masyarakat
Selain Polri ,BNN dan Penegak Hukum lainnya, UU No.
35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan narkotika. Artinya masyarakat diberi wewenang seperti
penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan
mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Peran serta masyarakat yang
terpayungi oleh UU ini memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Hal ini menimbulkan afraid yang cenderung mengarah pada suatu
ketakutan tersendiri disalahgunakan oknum masyarakat .
Namun dalam UU ini berbanding terbalik pada hal hak
masyarakat untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap
pecandu narkotika yang tidak diatur secara jelas dan tersurat.[14][14]
7. Ketentuan
Pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memiliki
kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen
dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150
pasal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menggunakan pendekatan pidana untuk
melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika.
Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar
tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan
diberikannya suatu kewenangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi
institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat, melakukan
penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika. Lebih
jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 sebagai berikut:
a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika
Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan
hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak
memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang
sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik
karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.
Hal ini berpotensi menjerat orang utk dijadikan
tersangka dalam tindak pidana narkotika yang tidak sengaja ,baik karena
“dijebak” oleh orang lain maupun atas kekurang-tahuan atas bentuk jenis
narkotika yang ada maupun kondisi lain yang memungkinkan seperti: menerima
titipan barang dari orang lain untuk diantar kesuatu tempat dan tanpa
sepengetahuannya didalam barang tersebut ada narkotika yang diselipkan,
menerima paket dari pos dan kondisi lainnya.
b.
Penggunaan sistem pidana minimal
Penggunaan sistem pidana minimal dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memperkuat asumsi bahwa Undang-Undang
tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan
narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan
putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang
dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
c.
Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan ancaman
hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan
anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun
unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu,
unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat
yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga menuntut agar
setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini memberikan
ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak
pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena
biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul
dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai
saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga
mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika.
Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII
masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya
penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini
menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil.
d.
Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana
selesai
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman
pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan.
Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut
memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana
tersebut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai,
sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku
tidak pidana selesai harus dibedakan.[15][15]
BAB V
LINGKUP PENYEMPURNAAN DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG
1. Cakupan
Penggolongan Narkotika
Memperluas cakupan penggolongan
narkotika, bukan berarti mencantumkan semua jenis narkotika dan derifatnya ke
dalam undang-undang. Akan tetapi, perlu membubuhkan kalimat yang fleksibel,
sehingga mencakup seluruh jenis narkotika baik yang telah terdeteksi maupun
yang belum tertemukan. Memperluas cakupan penggolongan narkotika dengan
menambahkan pernyataan bahwa penyalahgunaan zat yang bersifat adiksi, baik
itu narkotika, psikotropika, stimultan, maupun kelompok lainnya adalah
dilarang. Dengan penambahan pernyataan tersebut, diharapkan semua jenis derifat
narkotika baik yang telah diketahui
maupun yang belum diketahui, akan tetap mendapat perlakuan hukum terhadap
penyalahgunaan zat tersebut.
Adapun lingkup penyempurnaannya yaitu:
a. Menambahkan pernyataan bahwa penyalahgunaan zat yang bersifat adiksi, baik itu narkotika, psikotropika,
stimultan, maupun kelompok lainnya adalah dilarang.
b. Menambahkan nama zat narkotika baru yang belum tercover.
2. Fungsi Preventif
Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah seluruh usaha
yang ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkoba.
Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang permintaan ( demand) dan persediaan (
supply ), selama permintaan itu ada, persediaan akan selalu ada, dan apabila
permintaan itu berkurang atau berhenti, persediaan akan berkurang termasuk
pasarnya. Masalah penyalahgunaan narkoba
merupakan masalah yang sangat kompleks yang secara umum disebabkan oleh tiga
faktor yaitu : faktor individu, faktor lingkungan dan faktor ketersediaan,
menunjukkan bahwa pencegahan penyalahgunaan narkoba yang efektif memerlukan
pendekatan secara terpadu dan komprehensif. Oleh karena itu peranan semua
pihak termasuk para orang tua, guru, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat dan
sebagainya sangatlah penting. Adapun peranan polri dalam hal ini adalah sebagai:
a. Motivator
Yaitu, menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap
kesadaran hukum dan keamanan lingkungan agar tidak menjadi korban atau pelaku
kejahatan penyalahgunaan narkoba. Selain itu, diharapkan mampu mendorong,
mengarahkan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayah tugasnya
untuk berperan serta mencegah timbulnya gangguan termasuk penyalahgunaan
Narkoba.
b. Fasilitator
Memfasilitasi para kader dan para tokoh masyarakat
serta menjadi mediator dalam hal menyelesaikan masalah-masalah penyalahgunaan
narkoba yang timbul di wilayah tugasnya.
Cakupan penyempurnaannya meliputi, menekan serendah
mungkin kemungkinan penanaman tumbuhan narkotika di beberapa daerah di
Indonesia, memberikan sosialisasi secara menyeluruh ke seluruh lapisan masyarakat
mengenahi ketentuan tumbuhan-tumbuhan yang termasuk narkotika, memberikan efek
jera bagi pengkonsumsi narkotika dan efek enggan bagi masyarakat yang
perpotensi mengkonsumsinya serta menghentikan peredaran narkotika di luar
keperluan medis secara serentak.
3. Sistem
Rehabilitasi Terpadu
Rehabilitasi diarahkan
tidak hanya secara medis tetapi juga rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis, dengan menunjuk instansi
terkait secara prosedural sehingga akan tercipta kepastian dan kebenaran secara
medis. Rahabilitasi sosial, dengan menjalin kerja sama antara aparat dengan
masyarakat agar memberikan perlakuan yang layak kepada penyalahgunaan narkotika
guna mengembalikan kepribadiannya. Rehabilitasi Sosial adalah suatu
proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial,
agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam
kehidupan masyarakat. Tindakan rehabilitasi ini tidaklah dapat diberlakukan
bagi seluruh penyalahguna narkotika.[16][16] Namun, untuk
mendapatkan sanksi ini, ada kriteria-kriteria tertentu, sehingga ada pembedaan
antara pengguna murni dengan pengguna yang sekaligus sebagai pengedar. Cakupan penyempurnaannya
meliputi, memberikan ketegasan pihak yang berhak memberikan rehabilitasi
dan pengobatan, melakukan rehabilitasi sosial guna mengembalikan psikologi
penyalahgunaan narkotika.
BAB VI
MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG NARKOTIKA
Materi
undang-undang tentang narkotika adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Narkotika terdapat
hal-hal yang baru. Hal baru tersebut adalah pembatasan
penyimpanan narkotika, pengobatan dan rehabiltasi, kewenangan BNN dan
penyelidikan, putusan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, peran serta
masyarakat, ketentuan pidana serta penggolongan
narkotika.
2. Cakupan penggolongan narkotika
Dalam
penyempurnaan UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Narkotika diatur perubahan
mengenai cakupan penggolongan narkotika yang tidak cukup menyebutkan tentang
jenis dan derifat narkotika, akan tetapi lebih fleksibel dengan menambahkan
pernyataan bahwa penyalahgunaan zat yang bersifat adiksi, baik itu narkotika,
psikotripika, stimultan, maupun kelompok lainnya adalah dilarang.
Alasan yang
menjadi dasar penambahan pernyataan tersebut adalah ditemukannya jenis
narkotika baru yang belum tercover dalam undang-undang, dan adanya kemungkinan
ditemukannya jenis lain yang belum tercover dalam undang-undang.
3. Rehabilitasi dan pengobatan
Penyempurnaan undang-undang ini juga mencakup tentang adanya suatu badan
yang ditunjuk secara resmi dari pihak polri dalam hal rehabilitasi dan
pengobatan. Selain itu, rehabilitasi tidak hanya secara medis saja tetapi juga
rehabilitasi sosial yang melibatkan peran masyarakat.
4. Keseimbangan
Penyempurnaan undang-undang ini juga mengatur tentang keseimbangan, bahwa
menekan serendah mungkin permintaan narkotika, maka konsekuensinya juga menekan
serendah mungkin penawaran dan ketersediaan narkotika.
5. Menguatkan peran masyarakat dalam pemberantasan narkotika.
Menjalin kerjasama dengan masyarakat dalam hal penyuluhan, pendampingan dan
penguatan terhadap pecandu narkotika yang
diatur secara jelas dan tersurat.
6. Menguatkan peran polri
Penyempurnaannya adalah dengan menguatkan peran polri dalam penanganan
tindak pidana penyalahgunaan narkotika, sehingga denga demikian kepercayaan
masyarakat terhadap kerja polri dapat meningkat.
7. Penegasan hukuman.
Cakupan penyempurnaanya adalah membedakan antara hukuman bagi percobaan dan
tindak pidana selesai. Dengan demikian keadilan akan dapat dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhri,
Syaiful. Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika, dalam http://dr-syaifulbakhri.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-narkotika-dan.html, diakses 18 April 2013.
http://ilmuhukumbisnis.blogspot.com/2012/01/sejarah-hukum-undang-undang-narkotika.html, diakses 10 April 2013.
Naskah
Akademik tentang Narkotika dan Psikotropika,
dalam http://litbangdiklatkumdil.net/publikasi-litbang/198-naskah-akademis-narkotika-a-psikotropika.html, diakses 18 April 2013.
Permana, Andita Hadi. Sejarah Hukum
Undang-Undang Narkotika Di Indonesia Yang Di Mulai Dari Tahun 1976 Sampai Dengan
Tahun 2011 dalam http://ilmuhukumbisnis.blogspot.com/2012/01/sejarah-hukum-undang-undang-narkotika.html, diakses 25 April 2013.
Rahmadi, Mahardian. Katinon dan Produk Turunannya, dalam http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/katinon-dan-produk-turunannya.html, diakses 12 April
2013.
Rahmadi,
Mahardian. Perlukah Merevisi UU
Narkotika?, dalam http://www.antarajatim.com/lihat/berita/104398/perlukah-merevisi-uu-narkotika-saat-ini-, diakses 18 April 2013.
Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Jika Dikaji
Dari Penerapan Hukumnya, dalam http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177, diakses 18 April 2013.
[1][1] Naskah Akademik tentang Narkotika dan Psikotropika, dalam http://litbangdiklatkumdil.net/publikasi-litbang/198-naskah-akademis-narkotika-a-psikotropika.html, diakses 18 April 2013.
[2][2] http://ilmuhukumbisnis.blogspot.com/2012/01/sejarah-hukum-undang-undang-narkotika.html, diakses 10 April 2013.
[3][3] Andita Hadi
Permana, Sejarah Hukum Undang-Undang Narkotika Di Indonesia Yang Di
Mulai Dari Tahun 1976 Sampai Dengan Tahun 2011 dalam http://ilmuhukumbisnis.blogspot.com/2012/01/sejarah-hukum-undang-undang-narkotika.html,
diakses 25 April 2013.
[6][6] Syaiful Bakhri, Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika,
dalam http://dr-syaifulbakhri.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-narkotika-dan.html, diakses 18 April 2013.
[7][7] Hadi Permana, Sejarah
Hukum.
[8][8] Mahardian Rahmadi, Katinon
dan Produk Turunannya, dalam http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/katinon-dan-produk-turunannya.html, diakses 12 April 2013.
[10][10] Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Jika
Dikaji Dari Penerapan Hukumnya, dalam http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177, diakses 18 April 2013.
[12][12] Mahardian
Rahmadi, Perlukah Merevisi UU Narkotika?,
dalam http://www.antarajatim.com/lihat/berita/104398/perlukah-merevisi-uu-narkotika-saat-ini-, diakses 18 April 2013.
[14][14] Sekilas Pembahasan UU Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika dalam http://prabuhelaudinata.blogspot.com/2012/11/uu-nomor-35-tahun-2009.html, diskses 30 April 2013.
[15][15] R. Kurniawan, Mengkritisi dan memperbandingan UU No 35/ 2009 tentang Narkotika dengan Undang-Undang Terdahulu, dalam http://my.opera.com/Kurniawanwp97/blog/2010/07/12/mengkritisi-dan-memperbandingan-uu-no-35-2009-tentang-narkotika-dengan-undang, diakses 30 April 2013.
[16][16] Bakhri, Tindak
Pidana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar